Friday 11 January 2013

Di balik Subliminal Message


Kekuatan Halus Pesan Tersembunyi
Oleh: Wolfgang Stroebe
(Sumber: Scientific American Mind, Mei-Juni 2012, hal. 46-51)
Bisakah iklan subliminal mempengaruhi perilaku kita? Riset baru menyatakan ya—tapi hanya di bawah kondisi tertentu.
Kelahiran iklan subliminal hampir seperti naskah acara televisi. Dalam kisah nyata ini, sorotan jatuh kepada James M. Vicary, periset independen bidang pemasaran.
Pada 12 September 1957, Vicary mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan hasil eksperimen tak biasa. Selama enam minggu di musim panas yang telah lewat, dia mengatur agar slogan-slogan—rincinya, “Makanlah popcorn” dan “Minumlah Coca-Cola”—disorotkan selama tiga milidetik, setiap lima detik, ke layar biskop di Fort Lee, New Jersey, selagi pemirsa menontonPicnic. Vicary berargumen bahwa pesan-pesan ini terlalu cepat untuk dibaca oleh penonton tapi cukup mencolok bagi mereka untuk mendaftar maknanya secara bawah sadar. Sebagai bukti, dia menyajikan data yang mengindikasikan bahwa pesan itu telah meningkatkan penjualan soda di bioskop sebanyak 18% dan popcorn sebanyak 58%.
FAKTA CEPAT
Konsumen Sadar
  1. Selama berdekade-dekade, publik telah mencemaskan iklan subliminal, menganggapnya mirip dengan cuci otak. Namun, ilmuwan memandangnya sebagai mitos.
  2. Eksperimen-eksperimen mutakhir mendemosntrasikan bahwa pesan subliminal yang disorotkan ke layar atau monitor komputer dapat mempengaruhi keputusan kita hanya jika kita terbuka terhadap persuasi lantaran kebutuhan tertentu, misalnya haus.
  3. Terlepas dari kecemasan dimanipulasi, lingkungan sekeliling kita mengerahkan pengaruh tak sadar terhadap keputusan kita sehari-hari. Contoh, bau daging panggang bisa membuat kita merasa lapar, dan musik di supermarket bisa mengarahkan kita ke barang tertentu.
Publik bereaksi dengan geram. Temuan Vicary persis selaras dengan kecemasan masyarakat kala itu, ketika Madison Avenue dapat memanipulasi konsumen seperti boneka tak berpikiran. Ide bahwa iklan bisa disiarkan secara subliminal, di bawah ambang kesadaran, terasa mirip dengan cuci otak. Pada 5 Oktober 1957, sekitar tiga minggu setelah acara Vicary, Norman Cousins, kepala editor Saturday Review, menulis artikel berjudul Smudging the Subconscious, di mana dia mencerca kampanye iklan yang dirancang untuk “menyusup ke dalam bagian-bagian pikiran manusia yang paling dalam dan paling pribadi dan meninggalkan segala macam tanda goresan.” Central Intelligence Agency segera menerbitkan laporan mengenai potensi operasional persepsi subliminal. Buku Vance Packard, The Hidden Persuaders, yang menguraikan klaim-klaim Vicary secara detil, menjadi bestseller dalam semalam. Begitu tekanan publik menggunung, sebagai respon, Inggris, Australia, dan National Association of Broadcasters di Amerika melarang penayangan iklan subliminal yang tak terlihat.
Namun mendadak ada ketidakberesan. Periset mencoba meniru temuan Vicary selama masa itu, tapi tak ada yang berhasil. Setelah lima tahun, Vicary mengaku bahwa eksperimennya merupakan “muslihat”. Pengakuannya kurang menarik perhatian dibanding pertunjukan publisitas awal. Banyak orang di AS dan Eropa terus percaya bahwa iklan subliminal bisa membentuk pilihan konsumen meski semua bukti menyanggahnya.
Tapi belakangan ini psikolog mulai menemukan bahwa pesan subliminal terkadang bisa mengalihkan keputusan kita, tapi bukan dengan cara yang dikemukakan oleh Vicary. Pesan subliminal tidak bisa menginterupsi maksud kita atau menyita kehendak kita. Sebaliknya, rupanya kita hanya dapat terkena sugesti amat singkat ini di bawah kondisi khusus dan terbatas. Karena isyarat bawah sadar ini mencoreng memori kita begitu cepat sewaktu tayang di layar, ia tidak mempunyai kekuatan kecuali jika kebetulan berhubungan dengan tujuan dekat kita atau kecenderungan alami kita.

Reaksi dan gniksamkcaB
Pada dekade-dekade setelah eksperimen Vicary, para pemasar, politisi, sutradara, dan bahkan lembaga penegak hukum mencoba memanfaatkan kemampuan persuasi subliminal tanpa keberhasilan yang berarti. Taktik penayangan mereka tipikalnya mengikuti jejak Vicary, menyisipkan kilasan perkataan atau gambar berdurasi beberapa milidetik dalam klip video lain. Contoh, pada 1978, stasiun TV Wichita Kan mendapat izin dari kepolisian untuk memperlihatkan kilasan kalimat “Nah panggil kepala” pada saat liputan mengenai pembunuh berantai “BTK”, dengan harapan dia akan terpaksa menyerah. Sayangnya, orang yang mereka buru, Dennis Rader, menghindarkan diri dari penangkapan sampai tahun 2005.
Pada 2000, pesan subliminal memasuki persaingan pemilu presiden AS. Sebuah iklan kampanye partai Republik menyambung-nyambung kata “rats” menjadi sebuah segmen tentang kandidat partai Demokrat, Al Gore. Walaupun “rats” merupakan bagian dari baris “bureaucrats decide” yang terlihat jelas, empat huruf yang kurang menyanjung ini muncul di layar 30 milidetik sebelum bagian lainnya. Kandidat partai Republik, George W. Bush, menyatakan itu adalah kebetulan, tapi rekan-rekan televisi cepat-cepat menarik iklan komersial tersebut dari gelombang udara.
Kampanye kontroversial lain melibatkan backmasking, atau backward masking—sebuah teknik di mana teknisi audio merekam perkataan secara terbalik ke dalam pita rekam. Para penganjur mengklaim bahwa pesan terbalik beraksi secara subliminal terhadap pendengar. Pada 1980-an, kelompok-kelompok agama di AS cemas bahwa beberapa band rock menggunakanbackmasking untuk menyampaikan ajaran setan. Dua pasang orangtua menggugat musisi Inggris Ozzy Osbourne, menyatakan bahwa frase-frase yang di-backmask dalam lagu-lagunya telah mendorong anak-anak mereka melakukan bunuh diri. Pengadilan menolak perkara ini—sebagaimana terhadap gugatan serupa yang dilayangkan pada band rock Judas Priest—karena mereka tak menemukan cukup bukti bahwa backmasking bekerja. Periset berulangkali mendemonstrasikan bahwa backmasking tak meninggalkan jejak berarti dalam memori. Meski begitu, kegemparan ini membawa pada pembakaran riwayat publik, dan pada 1983 California melarang praktek ini.
GEORGE W. BUSH DAN OZZY OSBOURNE: Kedua orang ini dituduh menggunakan pesan tersembunyi. Kampanye pemilu presiden Bush tahun 2000 memutar iklan tentang Al Gore yang secara subliminal menayangkan kata “rats” (kiri). Para orangtua tak berhasil menggugat Osbourne (kanan), menyatakan musiknya mengandung track rahasia yang di-backmask yang telah mendorong anak-anak mereka melakukan bunuh diri.
Juga selama tahun 1980-an berkembang perdagangan pita kaset berisi tip bantuan diri yang mengklaim mempergunakan pesan yang bisa dimengerti secara subliminal, yang direkam ke arah yang benar. Tapi, pada 1991, Anthony G. Greenwald dari Universitas Washington bersama koleganya membuktikan bahwa rekaman ini juga tak efektif. Greenwald dan timnya memberikan kaset musik klasik, kepada 237 peserta ujicoba, yang memuat tip-tip subliminal untuk meningkatkan kepercayaan diri atau ingatan mereka. Tanpa sepengetahuan partisipan, yang mendengarkan pita kaset itu setiap hari selama lima minggu, separuh dari kaset-kaset itu sengaja diberi label salah. Periset menemukan bahwa kaset-kaset itu tak berefek terhadap kepercayaan diri ataupun ingatan. Namun, partisipan memperoleh pengalaman lain: mereka yang percaya bahwa kasetnya dapat meningkatkan kepercayaan diri merasakan peningkatan, begitu pula dengan pendengar yang mengharapkan penambahan ingatan.
Bagi banyak ilmuwan, eksperimen ini menutup buku mengenai pesan subliminal. Pada 1992, Anthony R. Pratkanis, seorang psikolog di Universitas California, Santa Cruz, dan salah seorang periset studi kaset, menulis bahwa keyakinan pada kemanjuran persuasi subliminal menjadi contoh sains yang oleh Richard Feynman disebut sebagai cargo-cult science (sains pemujaan kargo), mengacu pada fenomena di mana masyarakat kesukuan menjumpai “kargo” dari sebuah peradaban berteknologi maju lalu merancang ritual tentangnya. Menurut definisi Feynman, diberikan sebagai bagian dari pidato permulaan di California Institute of Technology pada 1974, sains pemujaan kargo rupanya memiliki segala hiasan sains riil—objektivitas dan eksperimen cermat—tapi melewatkan sesuatu yang fundamental: praktisinya kurang skeptisisme. Sepanjang tahun 1990-an, pesan subliminal sebagai bidang riset jatuh membisu, diturunkan ke alam refleksiologi, ESP (extrasensory perception), dan disiplin meragukan lainnya.
Tapi selama dekade yang lalu, psikolog mendapat minat terbarukan terhadap topik tersebut, dan penelitian mereka telah membuahkan beberapa hasil menggairahkan. Pada 2001, Ap Dijksterhuis dari Universitas Radboud Nijmegen di Belanda, kala itu bekerjasama dengan kolega di Universitas Amsterdam, memberikan uji atensi terkomputerisasi (computerized attention test) kepada mahasiswa. Selama uji itu, dia menyorotkan suku-suku kata omong-kosong atau “cola” dan minuman” ke layar. Sesudah itu, dia bertanya kepada partisipan apakah mereka ingin cola atau air mineral. Peserta yang menonton pesan-pesan subliminal tersebut lebih mungkin meminta minuman. Namun mereka tidak lebih sering meminta cola. Setahun kemudian, Joel dan Grant Cooper dari Universitas Princeton meniru temuan ini, menanam sugesti subliminal—kata “haus” dan gambar kaleng cola—ke dalam sebuah episode The Simpsons. Lagi, orang-orang yang mendapat pesan subliminal merasa kering/haus dibandingkan mereka yang menonton acara asli.

Meminum Kool-Aid
Untuk memahami mengapa partisipan yang diberi isyarat subliminal dalam studi-studi ini merasa lebih haus tapi belum tentu lebih cenderung minum cola, pikirkan apa yang terjadi ketika Anda memasuki minimarket untuk mencari minuman. Pertama-tama Anda pasti bisa memperoleh nama sebuah minuman dari ingatan Anda. Kemungkinannya Anda akan memilih merek apapun yang paling cepat terlintas di benak Anda. Jika Anda selalu minum Coca-Cola, Anda barangkali tidak mempan terhadap sugesti subliminal apapun untuk membeli merek lain. Namun, jika terkadang Anda meminum teh es Lipton, pesan yang Anda rasakan di bawah ambang kesadaran mungkin mempengaruhi pilihan Anda, menjadikan nama merek ini lebih dapat diakses dalam memori Anda setidaknya secara temporer.
LIHAT TEMPAT INI, BELI MEREK INI: Studi-studi mutakhir mengindikasikan bahwa pesan subliminal terkadang dapat merobohkan keputusan kita dengan suatu cara, tapi tidak dengan cara yang sudah lama dicemaskan masyarakat. Pesan-pesan cepat ini memiliki jendela pengaruh sesaat.
Kami memutuskan untuk menguji teori bahwa Coca-Cola sebagai nama merek terlalu tertanam dalam memori sebagian besar orang sehingga stimulus subliminal tidak berefek apapun terhadap mereka. Bekerjasama dengan Jasper Claus di Universitas Utrecth, John Karremans dari Radboud, dan saya menjalankan studi awal pada 2006 di mana kami meminta sukarelawan melakukan tugas atensi terkomputerisasi. Kami berulangkali membombardir separuh partisipan dengan kilasan kata-kata “Lipton Ice”, sebuah merek teh es, berdurasi 23 milidetik. Berdasarkan quesioner, kami menetapkan bahwa Lipton Ice cocok dengan tujuan kami: ini merupakan pemuas dahaga yang bagus tapi bukan pilihan pertama kebanyakan orang. Separuh partisipan lainnya melihat kilasan suku-suku kata omong-kosong berdurasi 23 milidetik. Setelah ujicoba, partisipan harus memilih minuman, Lipton Ice atau air mineral. Sesuai dugaan, kelompok pertisipan Lipton Ice memilih merek ini jauh lebih sering daripada kelompok pembanding [yang tidak diberi pesan subliminal]. Lagi, sebagaimana dalam studi di atas, hanya partisipan haus yang bereaksi seperti ini. Merek minuman manapun yang terdepan dalam pikiran Anda tidaklah penting, kecuali kalau Anda haus.
Dalam studi kedua, kami memberi butiran garam kepada separuh sukarelawan dengan harapan mereka haus sebelum kami menunjuki mereka iklan subliminal. Dalam skenario ini, lebih dari 80% peserta yang haus—dan sekitar separuh dari peserta yang menyatakan tidak haus—memilih Lipton Ice. Tanpa pesan subliminal, hanya 30% dari peserta yang haus dan 20% dari peserta yang tak haus memilih teh es tersebut. Pada 2011, bekerjasama dengan kolega kami, Thijs Verwijmeren dan Daniël Wigboldus, saya dan Karremans menyempurnakan temuan ini dan mendemonstrasikan bahwa pemberitahuan subliminal hanya bekerja pada peserta yang haus yang menyukai teh es Lipton tapi tidak rutin meminumnya. Kita tak dapat mempengaruhi orang-orang yang mengatakan bahwa teh es Lipton merupakan minuman favorit mereka. Temuan ini mungkin setidaknya menjelaskan sebagian mengapa penyelidikan terdahulu, yang umumnya menggunakan Coca-Cola, gagal mendemonstrasikan efek subliminal terhadap pilihan merek. Selama berdekade-dekade, Coca-Cola telah menjadi minuman favorit di kalangan mahasiswa, yang umumnya menjadi peserta ujicoba para periset. Juga, studi-studi ini tidak memperhitungkan berbagai tingkat kehausan.
Periset lain telah mengamati kelemahan serupa pada persuasi subliminal di kalangan individu yang lelah, bukan haus. Pada 2009, Christina Bermeitinger dari Universitas Hildesheim di Jerman, kala itu bekerja di Universitas Saarland, bersama kolega di Universitas Western Australia, memberitahu partisipan bahwa dia dan yang lainnya berencana meneliti efek pil dekstrosa terhadap konsentrasi. Mereka merancang dua merek pil palsu dan mendesain logonya, masing-masing mereka sajikan secara subliminal kepada separuh partisipan selagi bermain game komputer. Sewaktu istirahat, partisipan disodori pil dekstrosa yang dilabeli nama merek palsu. Akhirnya, semakin lelah partisipan, semakin mereka tertarik kepada merek yang sudah disorotkan secara subliminal ke layar.
HAUS BAWAH SADAR: Ketika peserta ujicoba menyaksikan iklan subliminal Lipton Ice, kebanyakan mereka memilih minum teh merek ini daripada air. Efeknya paling nyata di antara partisipan yang haus—pikiran bawah sadar mereka memperhatikan isyarat subliminal.
Dari investigasi ini, jelaslah bahwa kerentanan individu terhadap sugesti subliminal tergantung pada sejumlah variabel, meliputi kebutuhan dan kebiasaan fisiknya. Efek terkait, reaksi subliminal, juga dapat dipicu di bawah kondisi tertentu. Kami memperlihatkan efek ini dalam studi teranyar di mana kami memproyeksikan kata-kata “Lipton Ice” secara subliminal selama penayangan dua klip film: sekuens lucu dari film animasi Madagascar dan adegan menggelisahkan dari film tentang pecandu heroin, Trainspotting. Setelah pemutaran klip, kami menyodorkan Lipton Ice atau air mineral kepada partisipan. Dibandingkan dengan kelompok pembanding, yang tidak diberi pesan subliminal, mereka yang melihat merek [Lipton] tersisip dalamMadagascar lebih menginginkan Lipton Ice. Namun mereka yang menontonTrainspotting kurang sering memilihnya. Sekali lagi, pesan subliminal mempengaruhi peserta haus saja.

Cuci Otak di Supermarket
Ide iklan subliminal masih menakutkan banyak orang. Riset di bidang ini masih agak tabu, dan pendanaannya langka.
 Programming the Nation, sebuah film dokumenter yang dirilis pada Oktober 2011, secara sensasional bertanya, “Apakah kita semua dicuci otak? Atau sudahkah kita kehilangan pikiran kita?” Tingkat ketakutan semacam itu tidak berdasar. Sudah pasti tak ada yang mau dimanipulasi, tapi faktanya sekeliling kita mewarnai pilihan kita sepanjang waktu, tanpa kita sadari. Aroma kopi yang keluar dari toko roti bisa membuat kita sangat mengharapkan espreso; wangi daging panggang dari restoran bisa membuat perut kita berbunyi. Riset kami hingga hari ini mengindikasikan bahwa pesan subliminal mempengaruhi perilaku kita dengan cara yang sama seperti isyarat lingkungan. Partisipan haus lebih reseptif terhadap isyarat subliminal tentang minuman persis sebagaimana pembelanja lapar lebih mungkin untuk memenuhi keranjang belanjanya di supermarket.
Untuk menguji potensi pembujuk tersembunyi ini dalam kehidupan sehari-hari, pada 2005 Rob Holland dan koleganya di Radboud merancang eksperimen cerdik. Tim meminta 56 mahasiswa membuat daftar lima aktivitas yang ingin mereka lakukan selama beberapa hari ke depan. Separuh partisipan mencium aroma sitrus dari pembersih serbaguna di lab, sedangkan separuh lainnya bekerja di ruangan bebas wangi. Kelompok pertama tidak melaporkan mencium bau [busuk] apapun. Meski begitu, 36% dari mereka menulis bahwa mereka berencana membersihkan apartemen mereka. Sebagai perbandingan, hanya 11% dari partisipan yang bekerja di ruangan bebas bau mempertimbangkan bersih-bersih. Holland dan koleganya menyimpulkan bahwa wangi sitrus telah meningkatkan aksesibilitas kognitif tujuan bersih-bersih. Namun, mereka tidak menemukan berapa banyak dari calon tukang bersih-bersih tersebut menyelesaikan tugasnya. Maksud baik itu mungkin saja menghilang dari lubang ingatan segera setelah persoalan lain yang lebih urgen—seperti belajar untuk ujian—tampil ke depan.
LATAR CUCI OTAK: Pesan subliminal mempengaruhi kita dengan cara yang sama seperti isyarat lingkungan: bau dari kafe dapat membuat kita merasa lapar, aroma sitrus dapat memicu pikiran tentang bersih-bersih, bahkan musik dapat mempengaruhi apa yang kita beli di toko.



Memang, isyarat semacam itu tidak bertahan lama dalam memori kita. Pemicu lingkungan tampaknya paling manjur dalam skenario-skenario di mana kita dapat beraksi terhadap mereka secara cepat, sebuah fakta yang menjadikannya berguna dalam setting komersial tertentu. Ketika department store memainkan musik Natal, itu dimaksudkan untuk menempatkan kita dalam mood memberi hadiah, sehingga meningkatkan penjualan. Pada 1993, ekonom Charles Areni dan David Kim dari Texas Technical University mengungkap cara lain di mana musik bisa mengubah perilaku. Selama beberapa minggu di sebuah toko wine, mereka memainkan berbagai musik, menggonta-ganti antara lagu klasik, seperti The Four Season-nya Antonio Vivaldi, dan lagu pop, meliputi lagu karya Fleetwood Mac. Mereka menemukan bahwa pilihan musik tidak ada sangkut-pautnya dengan jumlah total botol yang terjual. Namun, pembeli yang mendengarkan pilihan klasik membeli wine yang lebih mahal daripada yang mendengarkan musik pop.
Kebiasaan berbelanja para langganan restoran juga tampak bervariasi dalam respon terhadap isyarat musik. Adrian North, kala itu di Universitas Leicester di Inggris, dan koleganya menghabiskan tiga minggu menggonta-ganti musik di sebuah ruang makan restoran, mulai dari musik klasik hingga pop, sampai tanpa musik sama sekali. Ketika lagu latarnya klasik, tamu berbelanja rata-rata $45. Jika dibandingkan, mereka berbelanja $40 ketika mendengarkan musik pop dan hanya $39 ketika tak ada musik sama sekali.
Dalam beberapa kasus, musik latar bahkan bisa mempengaruhi tipe produk yang dipilih pembeli. Dalam eksperimen lain, North dan koleganya menaruh empat wine Jerman atau Prancis, sama-sama dilabeli harga, di etalase di sebuah supermarket Inggris. Pada beberapa hari, supermarket ini memainkan lagu band brass Jerman, pada hari-hari lain memainkan musik akordeon Prancis. Ketika kemudian diwawancara, sangat sedikit pembelanja bisa mengatakan apakah mereka mendengar alunan musik. Tapi para pembeli yang mendengar lagu Prancis lebih sering memilih wine Prancis dan sebaliknya.
Kami punya semua alasan untuk percaya bahwa, persis seperti musik dalam contoh-contoh ini, iklan subliminal bisa dipakai secara sukses dalam situasi sehari-hari. Namun untuk memperoleh efek sungguhan, slogan-slogan subliminal harus pendek, disampaikan menjelang momen [pengambilan] keputusan, dan berhubungan dengan maksud atau kebiasaan seseorang. Berdasarkan batasan demikian, kecil kemungkinannya iklan-iklan subliminal televisi dapat memaksa konsumen berhari-hari kemudian untuk membeli suatu merek dalam perjalanan belanja mingguan.
Penelitian kami mengungkap bahwa, prakteknya, pesan subliminal jauh kurang manjur atau menakutkan daripada yang kita yakini dahulu. Ini bahkan bisa digunakan untuk kebaikan. Beberapa studi telah memperlihatkan bahwa paparan kata-kata “marah” atau “santai” selama beberapa milidetik dapat memberi efek nyata, jika sesaat, terhadap detak jantung dan tekanan darah seseorang. Pikiran bawah sadar kita mendaftarkan berbagai jenis sugesti, bukan cuma [sugesti] yang dikehendaki para pengiklan.
Penulis
Wolfgang Stroebe adalah profesor psikologi sosial di Universitas Utrecht dan Universitas Groningen, Belanda.

Bacaan Lebih Lanjut:
  • On the Psychology of Drinking: Being Thirsty and Perceptually Ready. Henk Aarts, Ap Dijksterhuis, dan Peter De Vries dalam British Journal of Psychology, Vol. 92, hal. 631-642, 2001.
  • Beyond Vicary’s Fantasies: The Impact of Subliminal Priming and Brand Choice. Johan C. Karremans, Wolfgang Stroebe, dan Jasper Claus dalam Journal of Experimental Social Psychology, Vol. 42, No. 6, hal 792-798, November 2006.
  • The Hidden Persuaders Break into the Tired Brain. Christina Bermeitinger, Ruben Goelz, Nadine Johr, Manfred Neumann, Ullrich K.H. Ecker, dan Robert Doerr dalam Journal of Experimental Social Psychology, Vol. 45, No. 2, hal. 320-326, 2009.
  • The Workings and Limits of Subliminal Advertising: The Role of Habits. Thijs Verwijmeren, Johan C. Karremans, Wolfgang Stroebe, dan Daniël H.J. Wigboldus dalam Journal of Consumer Psychology, Vol. 21, No. 2, hal 206-213, April 2011.
Sumber : unseenhands.wordpress.com

No comments:

Post a Comment